Sabtu, 07 Juni 2014

KISAH KI AGENG MANGIR





 Menurut Babad Tanah Jawi, Ki Ageng Mangir I atau Raden Jaka Balud atau Ki Ageng Megatsari adalah putra Prabu Brawijaya V atau (Prabu Kertabumi) yaitu raja kerajaan Majapahit pada abad 14-15.
Alkisah, ketika mulai jaman keruntuhan Majapahit, para keturunan Prabu Brawijaya V ada yang memilih mengembara kearah barat menempati daerah-daerah subur yang dahulu pernah ditempati Kerajaan Mataram Kuno. Dalam Babad Tanah Jawi, konon Raden Megatsari (Ki Ageng Mangir I) tertarik dengan banyaknya pohon kelapa yang telah tumbuh menjadi hutan kelapa di tepian Sungai Progo. Daerah tersebut juga terdapat banyak satwa. Orang-orang ikut menempati Desa Mangir dan hidup sejahtera dengan bertani dan membuat gula kelapa.
Setelah ki Ageng Mangir 1 wafat, dusun Mangir dipimpin oleh ki Ageng Mangir II atau Raden Wonoboyo. Ki Ageng Mangir telah menjadi satu-satunya pemimpin, pengayom, guru dan tempat bertanya bagi masyarakat desa Mangir. Bahkan pengaruh ki Ageng Mangir telah meluas sampai ke desa-desa sekitarnya.
Sebuah catatan utama tak mungkin dihapus dari keberadaan ki Ageng Mangir II ialah telah adanya kesamaan budaya antara dusun Mangir dan kerajaan Demak Bintoro, yaitu kehidupan baru yang bersifat gotong-royong dan kepercayaan baru bersifat tauhid, sekalipun keduanya saling berjauhan dan tidak saling berhubungan. Hal ini dibuktikan pula dengan sifat kepemimpinan Ki Ageng yang lebih bersifat demokratis, mandiri serta tidak dikendalikan oleh kekuasaan dan pengaruh dari luar komunitas (desa) setempat.
Alkisah, ketika terjadi pergantian kepemimpinan dari Pajang ke Mataram (1589 M) bumi Mangir berada dalam suasana yang aman tentram dan damai, Ki Ageng Mangir Wonoboyo II telah wafat dalam usia sepuh dan digantikan oleh putranya Ki Ageng Mangir Wonoboyo III atau Ki Ageng Mangir IV. Konon Ki Ageng Mangir IV masih muda belum beristri dan sangat memperhatikan olah seni dan budaya serta merasa bangga memiliki tombak pusaka Kiai Barukuping atau sering disebut Kiai Baruklinting. Konon Sang Senopati Ing Ngalaga Ing Mataram setelah dijunung menggantikan Sultan Pajang tidak mau menempati Istana Pajang melainkan lebih senang menggunakan gelar Panembahan, lengkapnya Panembahan Senopati Ing Ngalaga Ing Mataram.
Panembahan adalah seorang pemimpin, guru dan panutan masyarakat. Ia membimbing masyarakat dengan kebudayaan yang luhur penuh pengabdian, yaitu Memayu Hayuning Buwana. Dikisahkan dalam memperhatikan wilayah
kekuasannya di Mataram, Sang Panembahan Senopati telah mendengar bahwa di Bumi Mangir yang tidak jauh dari istana Mataram, Ki Ageng Mangir Wonobo tidak mau tunduk kepada kekuasaan Mataram.