Rabu, 16 November 2011

Buku rahasia kerajaan gowa yang terungkap

Mistery rajah kuno peninggalan kerajaan gowa. Terkandung arti dan makna dari beribu manfaat.

Minggu, 31 Juli 2011

Kaligrafi





inspirasi desain


inspirasi desain


inspirasi desain



inspirasi desain


inspirasi desain


inspirasi desain

inspirasi desain

inspirasi desain

inspirasi desain


inspirasi desain


inspirasi desain








inspirasi desain


inspirasi desain






by: Serpihan Serbuk Jiwa

“CEMETI HALILINTAR” MALAIKAT JIBRIL

Doa perlindungan ini diajarkan oleh Malaikat Jibril kepada Rasulullah, Muhammad SAW ketika malam Isra Mikraj. Ketika dalam perjalanan menembus langit, Nabi SAW dihadang oleh Jin Ifrit yang diutus Iblis yang membawa obor untuk membakar Rasulullah. Rasulullah kemudian membaca doa perlindungan tersebut sehingga ifrit kalah. (H.R Iman Al-Bukhari).

Bismillahirrohmanirrohim…


ARTINYA:

Aku berlindung dengan wajah Allah yang Maha Mulia dan dengan Kalimat-Kalimat Allah yang Sempurna yang tidak ada “melampauinya” segala kebaikan maupun keburukan dari kejahatan apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya dan dari kejahatan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan dari kejahatan fitnah di malam dan siang hari dan dari kejahatan jalan-jalan di malam dan siang hari, kecuali suatu jalan yang dilalui dengan kebaikan, wahai yang Maha Penyayang.

by: Serpihan Serbuk Jiwa

Secret Diary the King 2 (Raja Muna)



1. Raja Muna I – La Eli alieas Baidhuldhamani Gelar Bheteno Ne Tombula, (1417 – 1467).
La Eli alis Baidhudhamani gelar Bheteno Ne Tombula adalah Raja Muna Pertama. Dalam tradisi lisan masyarakat Muna diceritakan bahwa La Eli alias Baidhuldhamani adalah manusia sakti yang ditemukan di dalam rumpun bambu ( ada juga yang menceritakan dari dalam ruas bambu) oleh sekelompok orang yang sedang mencari bambu untuk keperluan pembuatan bangsal pada pesta yang akan digelar oleh Mieno Wamelai salah seorang pemimpin kampung di Muna. Karena penemuannya di dalam rumpun bambu tersebut, setelah dinobatkan menjadi Raja Muna I diberi gelar Omputo Bheteno Ne Tombula ( Yang Dipertuan Yang Muncul Dari Bambu ). Selengkapnya Baca Halaman Bheteno Netombula. Bheteno Ne Tombula memilikki dua orang Putra yakni La Aka Alias Kaghua Bangkano Fotu Gelar Sugi Patola dan Runtu Wulae dan satu orang putri yaitu Wa Ode Pogo. Kaghua Bangkano Fotu/ La Aka kemudian menjadi raja Muna II sedangkan Runtu Wulae kembali ke Luwu untuk menjadi Raja di Negeri leluhurnya tersebut. Wa Ode Pogo menurunkan golongan kaomu yang berfungsi sebagai Legislasi dan Yudikatif di kerajaan Muna. La Marati Bonto Balano I ( Sejenis MPR ) yang berfungsi sebagai lembaga yang memilih dan melantik Raja Muna pertma adalah keturunan Wa Ode Pogo.
2. Raja Muna II – La Patola/ La Aka / Kaghua Bangkano Fotu Gelar Sugi Patola ( 1467 – 1477 ).
Kaghua Bangkano Fotu adalah salah seorang dari dua orang putra Bheteno Ne Tombula dengan Permaisurinya Wa Tandi Abe. Saudara Kaghua Bangkano Fotu yang bernama Runtu Wulae kembali ke Kerajaan Luwu negeri leluhurnya untuk menjadi raja dinegeri tersebut.
3. Raja Muna III – La Mbona Gelar Sugi Ambona ( 1477 – 1497 )
4. Raja Muna IV – La Patani gelar Sugi Patani ( 1497 – 1512 )
5. Raja Muna V – Sugi La Ende – (1512-1527 )
6. Raja Muna VI – Sugi Manuru ( 1527-1538 ).
Pada masa pemerintahan Sugi manuru, penyebaran agama Islam gelombang pertama mulai masuk di Muna dibawah oleh Syekh Abdul Wahid ). Penyebaran islam saat itu masih sangat lambat karena pengaruh kepercayaan animisme yang dianut sebelumnya oleh masyarakat Muna masih melekat dengan sangat kuatnya. Pada gelombang pertama penyebaran agama islam di Muna hanya ada beberapa orang kerabat kerajaan yang tertarik untuk mempelajari ajaran Islam yang diajarkan oleh Syekh Abd. Wahid tersebut. Salah satu diantaranya adalah La Kilaponto Putra Raja Muna VI Sugi Manuru, yang kemudian menjadi Raja Muna VII menggantikan ayahandanya. Hal lain yang menghambat meluasnya penyebaran agama islam di Muna adalah karena belum cukup satu tahun menjadi Raja Muna, La Kilaponto telah dilantik menjadi Raja Buton VI menggantikan mertuanya yang telah meninggal dunia. Setelah menjadi raja buton, La Kilaponto kemudian pindah ke Baubau pusat kerajaan Buton. Bersamaan dengan itu Syekh Abd. Wahid guru agama beliau juga turut dibawah ke Buton sehingga penyebaran agama islam di muna terhenti, sedangkan di Buton berjalan begitu pesat. Bahkan agama islam begitu mempengaruhi istnah sehingga Buton berubah menjadi kesultanan dan hukum islam menjadi hukum negara dengan syultan pertamanya adalah La Kilaponto dengan Gelar Sultan Kaimuddin Khalifatul Khamis.
7. Raja Muna VII – La Kilaponto gelar mepokonduaghono Ghoera ( 1538-1541).
La Kilaponto adalah penganut Islam yang taat. La Kilaponto memeluk islam sebelum menjadi raja Raja Muna. Dia mengenal islam dari penyebar agama islam pertama di kerjaan muna Syekh Abdul Wahid ( 1527). Nila-nilai islam begitu tertancap dalam hatinya sebab beliau mempelajari islam dari usia yang sangat mudah. Karena ketaatannya terhadap islam, sehingga ketika menjadi Raja buton beliau menjadikan hukum islam sebagai hukum negara dan bentuk negara di rubah menjadi Kesultanan. La Kilaponto juga di kenal sebagai manusia yang fenomenal karena beliau perna menjadi raja di lima kerajaan besar yang ada di Sulawesi tenggara dalam Waktu yang bersamaan. La Kilaponto juga merupakan pemimpin yang kharismatik dan berwibawa sehingga disegani oleh kerajaan-kerajaan tetangga termasuk juga pemerintah kolonial belanda. La Kilaponto yang dikenal sangat sakti dan piawai dalam strategi perang, membuat Belanda tidak mampu mengintervensi Kesultanan Buton juga Kerajaan-kerajaan yang pernah dipimpin oleh La Kilaponto. La Kilaponto sebenarnya telah membaca gelagat tidak baik yang ditunjukan oleh Belanda. Olehnya itu selama berkuasa La Kilaponto menjalankan politik Kesetaraan dengan pemerintah Kolonial Belanda. La Kilaponto tidak berupaya untuk melakukan konfrontasi dengan Belanda. Hubungan pemerintahan kolonial belanda sebatas hubungan dagang dan diplomatis. Hal ini berkaitan dengan falsafa hidup yang dianut Oleh Lakilaponto yang pernah diajarkan oleh Ayahandanya Sugi Manuru yaitu “Pobini-biniti Kuli”. Arti harafia dari ajaran tersebut adalah saling tenggang rasa dan saling menghargai. Jadi menurut La Kilaponto selama Pemerintah Kolonial Belanda tidak mengganggu kehormatan dan kedaulatan Negeri Buton dan negeri tetangganya khususnya Kerajaan Muna yang merupakan negeri leluhurnya dan beliau pernah menjadi Raja di Negeri tersebut, maka La ilaponto tidak akan menyerang Belanda. Disaat La Kolaponto masih hidup belanda sudah mecah belah miliki keinginan untuk menguasai kesultanan Buton untuk dikuasai, namun karena segan dengan La Kilaponto keinginan itu di urungkan. Hal ini berkaitan dengan letak strategis Kesultanan Buton sebagai pintu gerbang Kerajaan-Kerajaan di Tumur dan barat Nusantara. Untuk mewujudkan keinginannya itu Belanda melakukan politik ocupasi dan pecah belah. Olehnya itu mereka melakukan strategi kerja sama perdagangan. Selama itu mereka terus melakukan pendekatan dengan aparat Kesultanan Buton. Politik pecah bela Belanda mendapatkan hasil setelah La Kilaponto Mangkat dan di gantikan oleh Putranya dengan Putri Raja Jampea yang bernama La Tumparasi. Keberhasilan Politik adu domba belanda itu di tandai dengan di gulingkannya Sultan Kaimuddin II dari tahtanya karena bersikap tegas perlawanan dengan kolonial belanda oleh sarana Wolio.
8. Raja Muna VIII -La Posasu gelar Kobangkuduno ( 1541-1551).
9. Raja Muna IX – Rampeisomba ( 1551-1600).
10. Raja Muna X – Titakono ( 1600- 1625 )
Pada masa pemerintahan La Titakono, penyebar Islam gelombang kedua yakni Firus Muammad masuk di Muna. Pada gelombang kedua penyebaran isalam ini belum mampu mengislamkan Raja Muna, sehingga pengaruh islam belum masuk ke istana. Walaupun La Totakono BELUM memeluk Islam namun beliau sangaat menghargai nilai-nilai islam. Sebagai bukti penghormatan beliau pada islams, pada masa pemerintahannya masjid pertama dibangun di Muna ( 1614 ). Pembangunan masjid itu diikuti oleh pembagunan pusat pendidikan islam. Seiring dengan itu ajaran islam sedikit demi sedikit mulai dipelajari masyarakat Muna. Salah satu murid dari Firus Muamad adalah La Ode Sa’aduddin putra dari Raja Muna X Titakono. Setelah Titakono mangkat, La Ode Sa’aduddin di nobatkan menjadi Raja Muna XI. Selain membangun masjid, Raja Titakono membentuk lembaga baru dalam sturktur pemerintahan kerajaan muna yaitu Bonto Bhalano. Bonto Bhalano adalah sebuah lembaga sejenis Majelis Permusyawaratan Rakyat yang bertugas memilih dan mengangkat Raja Muna.
RAJA –RAJA MUNA PASCA AGAMA ISLAM
1. Raja Muna XI – La Ode Sa’adudin ( 1625-1626 )
La Ode Sa’aduddin adalah Raja Muna pertama yang memeluk islam. Pada masa pemerintahan beliau agama islam mulai mengalami perkembangan. Agama islam bukan saja di pelajari dikalangan istana tetapi mulai diajarkan pada massyarakat luas. Pusat pendidikan agama islam yag didirikan oleh ayahandanya Raja Muna X Titakono mulai kedtangan banyak murid untuk belajar.
2. Raja Muna XII -La Ode Ngkadiri gelar Sangia Kaindea ( 1626-1667)-
Periode pertama. Pada tahun 1643, gelombang ke tiga penyebaran agama islam masuk di Muna di bawah oleh Syarif Muhammad.
3. Raja Muna XIII – Wa Ode Wakelu ( Permaisuri raja La Ode Ngkadiri )- ( 1667-1668).
Wa Ode Wakelu menjadi raja menggantikan suaminya La Ode Ngakadiri karena di jatuhkan oleh oleh Belanda.
4. Raja Muna XIV La Ode Muh. Idris. (1668-1671).
La Ode Muh. Idris adalah raja yang dikirim oleh Belanda dari Kesultanan Buton setelah berhasil menjatuhkan La Ode Ngkadiri Raja Muna XII.
5. La Ode Ngkadiri ( Periode Kedua) – ( 1671 )
Pemerintahan La Ode Ngkadiri di periode Kedua ini di bawah pengaruh kekuasaan kolonial belanda.
6. Raja Muna XV – La Ode Abd. Rahman gelar Sangia Latugho ( 1671-1716 )
7. Raja Muna XVI – La Ode Husaini gelar Omputo Sangia ( 1716-1767 )
8. Raja Muna XVII – La Ode Muh. Ali ( 1767)
9. Raja Muna XVIII –L a Ode Kentu Koda gelar Omputo Kantolalo (1758-1764 )
10. Raja Muna XIX – La Ode Harisi (1767 – ? )
La Ode Harisi memperkenalkan prutra mahkota dalam suksesi raja di kerajaan Muna.
11. Raja Muna XX – La Ode Umara I gelar Omputo ne Gege,
La Ode Umara I , Raja Muna XX adalah raja yang dihukum gantung oleh sarano Wuna karena telah melakukan sebuah kesalahan yang besar. Keputusan untuk menjatuhkan hukuman gantung tersebut merupakan vonis peradilan yang dinamakan mintarano bhitara ( yang memangku kekuasaan peradilan- MA? ). Tidak diceritakan apa yang menjadi kesalahan Raja sehingga mendapatkan vonis tersebut. Hal ini berkaitan dengan adab masyarakat Muna yang tabuh untuk menceritakan aib saudaranya apa lagi itu seorang raja. Sidang majelis yang menyidangkan Raja La Ode Umara berlangsung tertutup dan semua orang yang terlibat dalam persidangan tersebut disumpah untuk tidak menyebarkan apa yang dilihat dan didengar dalam persidangan. Diperkirakan kesalahan yang dilakukan raja La Ode Umara yang menyebabkan dia mendapat hukuman gantung tersebut adalah menyangkut kesusilaan.
12. Raja Muna XXI – La Ode Murusali gelar sangia gola
13. Raja Muna XXII – La Ode Ngkumabusi
14. Raja Muna XXIII – La Ode Sumaili Gelar Omputo ne Sombo.
Pada masa pemerintahan La Ode Sulaili terjadi pemberotakan yang dilakukan oleh Wa Ode Kadingke Cucu dari Sangia La Tugho. Pemberotakan itu dipicu oleh perlawanan terhadap sistem adat dalam hal kawin-mawin. Wa Ode Kadingke menolak denda adat yang begitu besar yang dibebankan pada suaminya Daeng Marewa dari Suku Bugis. Menurut adat saat itu, apabila ada perempuan keturunan yang berdara Kaomu ( Keturunan Raja ) akan menikah dengan orang yang bukan suku Wuna maka laki-laki tersebut akan dikenakan denda adat berupa membayar mahar sebesar 400 Boka. Menurut pandangan Wa Ode Kadingke yang berkeyakinan keislamannya cukup tinggi denda tersebut bertentangan dengan hukum islam sebab menurut hukum islam mengenai besaran mahar itu ditentukan oleh wanita yang akan menikah dan tidak membebani pihak laki-laki. Pemberontakan itu semakin meluas, karena Waode Kadingke sangat mahir dalam strategi perang. La Ode Sumaili tidak mampu meredam pemberontakan tersebut,bahkan akibat pemberontakan itu Wa Ode Kadingke bersama suaminya Daeng Marewa mendirikan Kesultanan Tiworo di bagian barat Pulau Muna. Ketidak mapuan La Ode Sumaili menumpas pemberotakan tersebut oleh sarano wuna dianggap sebagai suatu kesalahan besar yang dilakukan oleh Raja La Ode Sumaili, olehnya itu La Ode Sumaili harus mendapat hukuman yang setimpal. Dalam sebuah Rapat dewan sara diputuskan La Ode Sumaili untuk dihukum gantung. Itulah sebabnya La Ode Sumaili digelar Omputo Negege artinya Raja yang dihukum gantung.
15. Raja Muna XIV – LA Ode Saete gelar Sorano Masigi ( 1816-1830 ).
La Ode Saete merupakan Raja Muna yang dipilih oleh sarano (dewan adat ) Wuna. Pada waktu yang bersamaan, Kolonial belanda menunjuk la Ode Wita dari Kesultanan Buton Sebagai Raja Muna sehingga pada waktu itu terjadi dualisme kekuasaan di Muna. Untuk mengurangi intervensi Kolonial Belanda Raja La Ode Saete kembali meindahkan pusat pemerintahan dekat dengan masjid Muna di Kota Lama Muna sekaligus melakukan konfrontasi dengan Belanda yang berkoalisi dengan Kesultanan Buton. Semasa kepemimpinan La Ode Sumaili sebagai raja Muna, terjadi beberapa kali perang terbuka antara Kerajaan Muna dan Kolonial Belanda yang dibantu dengan Kesultanan buton. Dalam perang tersebut Pasukan Belanda dan dan Buton terus mengalami kekalahan. Belanda dan sekutunya Buton kewalahan menghadapi Pasukan Kerajaan Muna. Konfrontasi antara Belanda dengan sekutunya Buton melawan Kerajaan Muna terus berlanjut sampai La Ode Saetei Mangkat pada tahun 1830.
16. Raja Muna XXV – La Ode Bulae gelar Sangia Laghada (1830-1861 )
Setelah La Ode Suaete Mangkat, Dewan adat Sarano Wuna mengadakan rapat untuk melakukan pemilihan Raja penggantinya. Dalam rapat tersebut disepakati untuk mengangkat La Ode Bulae sebagai Raja Muna. La Ode Bulae dalam mejalankan pemerintahan melajutkan kebijakan pendahulunya La Ode Saete untuk konfrontasi dengan Kolonial Belanda dan Sekutunya Buton. Dalam sebuah perang, Belanda dan sekutunya Buton berhasil menangkap La ode Bulae dan membawahnya kepersidangan pengadilan di Makassar. Dalam persudangan pengadilan tersebut, La Ode bulae dinyatakan bersalah dan dibuang di Pulau Nusa Kambangan, kemudian diasingkan ke Bengkulu.
17. Raja Muna XXVI – La Aka (1861-1864)
La Aka adalah Bonto Balano pada masa pemerintahan La Ode Bulae. Beliau sebenarnya tidak berhak menjadi raja karena berasal dari keturunan Walaka, namun karena terjadi kekosongan kekuasaan di Kerajaan Muna akibat di asingkannya Raja la Ode Bulae oleh Kolonial belanda dan sekutunya Buton di Pulau Nusa Kambangan dan Bengkulu, maka kekuasaan diambil alih oleh Bonto Balano sambil menunggu pemilihan yang dilakukan oleh sarano Wuna. Karena itulah La Aka dikenal sebagai bukanlah Raja yang aktual / difinitif.
18. Raja Muna XXVII – La Ode Ali gelar sangia Rahia (1864-1870)
19. Raja Muna XXVII – LA Ode Huse
20. Raja Muna XXIX – La Ode Tao
21. Raja Muna XXX – La Ode Ngkaili ( 1903-1906)
Pada masa Pemerintahan La Ode Ngkaili Pusat pemerintahan Kerajaan Muna di pindahkan dari Kota Muna ke Raha oleh penguasa Kolonial Belanda. Pemindahan pusat pemerintahan tersebut dibawah tekanan militer Kolonial Belanda setelah pasukan Kerajaan Muna mengalami kekalahan dalam sebuah pertempuran melawan pasukan koalisi Belanda- Buton. Bersamaan dengan pemindahan ibu kota kerajaan, pemerintah Kolonial Belanda mengutus seorang raja dari Kesultanan Buton yaitu la Ode Maktubu untuk menggulingkan Raja La Ode Ngkaili yang sedang berkuasa dan diangkat oleh Sarano Wuna.
22. Raja Muna XXXI – La Ode Maktubu (1906 –- 1914)
Setelah pasukan koalisi Belanda –Buton memenangkan pertempuran pada tahun 1906 dan berhasil menggulingkan Raja Muna XXX La Ode Ngkaili, penguasa VOC Belanda di Makassar mengutus seorang dari Kesultanan Buton yakni La Ode Maktubu untuk menjadi Raja di Kerajaan Wuna. La Ode Maktubu adalah Putara Sultan Buton La Ode Salihi. Intervensi Pemerintahan Belanda dan Pengkoptasian Kesultanan Buton terhadap Kerajaan Muna mendapat perlawanan dari seluruh rakyat Muna. Sebagai wujud dari perlawanan itu adalah pada waktu yang bersamaan Sarano Wuna mengadakan rapat untuk mengakat La Ode Umara sebagai Raja Muna menggantikan Raja La Ode Ngkaili yang telah digulingkan oleh koalisi Belanda- Buton, serta tidak mengakui La Ode Maktubu Sebagai Raja. Besarnya dukungan rakyat terhadap keputusan Sarano Wuna yang tidak mengakui La Ode Maktubu sebagai raja Muna, memaksa La Ode Maktubu meninggalkan Muna dan kembali ke Buton. Karena tidak kuasa melawan sendiri keperkasaan prajurit Kerajaan Muna, akhirnya La Ode Maktubu Kembali Ke Buton dan pengadukan perinstiwa tersebut pada sekutunya Belanda. Pengaduan Kesultanan Buton atas sikap Pemerintahan Kerajaan Muna mengusir utusan Kesultanan Buton, ditanggapi serius oleh pemerintah kolonial belanda sehingga dikirim pasukan militer untuk memerangi kerajaan Muna.
Raja Muna XXXII – La Ode Umara II (1906)
Setelah la ode maktubu tidak mendapat pengakuan dari sarano Wuna serta diusir dari kerajaan Muna, pemerintah Kolonial Belanda Mengutus La Ode umara gelar Sangia Bariyah. Strategi yang dilakukan pemerintah Kolonial ini cukup berhasil sebab selain La Ode Umara yang memiliki garis keturunann dari Muna yaitu putra dari Kenepulu Bula , La Ode Umara juga masih menjabat sebagai Sultan Buton. Setelah situasi kembali kondusif dan pemerintah belanda semakin dalam kukunya tertancap di kerajaan Muna, La Ode Maktubu Kembali di lantik menjadi Raja Muna sampai tahun 1914
23. Raja Muna XXXIV – La Ode Pulu (1914-1918)
Pada masa pemerintahan la Ode Pulu, intervensi politik Kolonial Belanda di Kerajaan Muna semakin kuat. Pada akhir masa pemerintahan La Ode Pulu ( 1918 ) Pemerintah Kolonial belanda dan Kesultanan Buton ( Sultan Buton Saat itu La Ode Muh. Asikin ) secara sepihak melakukan perjanjian yang dikenal dengan Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918. Isi perjanjian tersebut adalah Belanda hanya mengakui ada dua pemerintahan setingkat swapraja di Sulawesi tenggara yaitu Swapraja Laiwoi dan Swapraja Buton. Dengan demikian menurut perjanjian tersebut secara otomatis muna menjadi bagian dari Kesultanan Buton/ Underafdeling. Sebagai Raja yang berdaulat dan diangkat oleh Sarano Wuna, La Ode Pulu melakukan perlawanan dan tidak mengakui perjanjian tersebut. Akibatnya la Ode Pulu di asingkan Nusa Kambangan. Selama dua Tahun pasca pemerinyahan La Ode Pulu, Kerjaan Muna berada dalam Kekuasaan Kolonial Belanda sampai dewan Adat ( Sarano Wuna mengadakan rapat dan mengangkat La Ode Afiuddin sebagai Raja.
24. Raja Muna XXXIV – La Ode Afiuddin ( 1920-1824)
La Ode Afiuddin yang diharapkan Belanda akan bekerja sama ternyata bersikap sama dengan Raja sebelumnya La Ode Pulu. Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918 juga tidak diakui dan terus melakukan perlawanan. Akibatnya belanda kembali mengambil alih pemerintahan di kerajaan muna.
25. – 1924-1926.
pada tahun ini oleh pemerintah Kolonial belanda dianyatakan bahwa Kerajaan Muna berada dibawah pemerintahan darurat militer Belanda. Semua urusan administrasi diambil alih oleh Belanda.
26. Raja Muna XXXV – La Ode Rere (1926-1928 )
Setelah dua tahun pemerintahan darurat militer belanda di berlakukan di kerajaan Muna, Sarano Wuna melakukan sidang untuk kembali mengangkat Raja Muna. Pada saat itu oleh sarano wuna disepakati La Ode Rere Sebagai Raja Muna. Sama halnya dengan Raja La Ode Pulu dan La Ode Afifuddin, Lam Ode Rere juga tidak mengakui perjanjian Korte Verklering akibatnya Belanda kembali menjatuhkan La Ode rere dari keududkannya sebagai Raja Muna.
27. – 1928-1938,
terjadi kevakuman pemerintahan di Kerajaan Muna. Belanda sebagai penguasa Kolonial mengabil alih untuk mengendalikan pemerintahan sambil menunggu sidang dewan Sara untuk menjjuk Raja baru.
28. Raja Muna XXXVI – La Ode Dika gelar Omputo Komasigino ( 1930- 1938 ).
Pada masa pemerintahan La Ode dika dilakukan pemugaran masjid agung di Kota Muna menjadi semi permanen. Sebagian dari bahan pembuatan masjid tersebut dibantu oleh Jules Couvreur seorang kontrolir Belanda yang bertugas di Muna saat itu . Sebagai mana raja muna yang lain, La Ode Dika tidak mau tunduk dengan belanda dan koloninya Buton. La Ode Dika juga tidak mengakui isi perjanjian Korte Verklaring sebab perjanjian itu dianggap ilegal. Sikap pperlawanan La Ode Dika tersebut diperlihatkan saat berkunjung di istana kesultanan Buton. Di hadapan Sultan Buton Muhammad Hamidi, la Ode Dika tidak mau memberi hormat, tapi justeru mengancungkan telunjuk seakan memberi ancaman pada Sultan Buton. Apa yang yang dilakukan La De Dika tersebut oleh Sultan Buton dilaporkan pada Penguasa Kolonial Belanda di Makassar. Akibatnya La Ode Dika di panggil menghadap Perwakilan pemerintah kolonial Belanda di makassar untuk mendengar langsung keputusan Pemerintah Kolonial yang memecat dirinya dari jabatan Raja Muna. Sepulangnya dari makassar, La ode Dika langsung meninggalkan kamali/Istana kerajaan Muna. Seluruh urusan administrasi kenegaraan diserahkan pada sekretaris kerajaan yakni La ode Sabora . Sayangngnya kamali/ istanaa tersebut pada masa pemerintrahan Drs. La Ode kaimuddin sebagai Bupati Muna yang juga merupakan putra dari La ode Dika di Rubah menjadi gedung Pertemuan ( Gedung wamelai).
29. 1938-1941
Pemerintahan Kerajaan Muna sepenuhnnya di kendalikan oleh Kolonial belanda.
30. !941 – 1946
Pemerintahan Kerjaan Muna benar-benar lumpuh sebab Belanda telah keluar dari kerajaan muna karena takluk dengan pemerintahan militer Jepang. Pada masa itu pemerintahan dijalankan oleh pemerintahan Militer Jepang dari Batalion Laut yang bermarkas di Manado.
31. 1946-1947.
Setelah Jepang menyerah dari Pasukan Kualisi, seluruh personil Jepang meninggalkan Muna dan digantikan dengan pasukan Nica.
32. Raja Muna XXXVII – La Ode Pandu ( 1947-1956).
Setelah terjadi kekosongan kekuasaan di kerajaan Muna, pemerintah Belanda di Makassar mengangkat La Ode Pandu sebagai pejabat Raja Muna pada tahun 1947 dan dilantik pada tahun itu juga di depan Masjid Muna di Kota lama Muna. Pelantikan La Ode Pandu dihadiri oleh utusan pemerintah belanda. La Ode Pandu meninggal akibat ditembak gerombolan Di/II di Posunsuno saat melakukan kunjungan di Wasolangka.
33. 12 Desember 1956
Muna menjadi bagian dari Propinsi Sulawesi Tenggara sebagai Kabupaten bersama 3 Kabupaten lainya yaitu, Kendari Kolaka dan Buton.
Bahan Bacaan :
1. Sejarah Muna – La Kimi Batoa, Jaya Press Raha
2. Silsilah Raja-Raja Muna – Koleksi Museum KTVL Belanda
3. M. Nasrun- Kerajaan Muna dan Sistem Kemasyarakatan ( Jakarta 1989 )
4. Mahmud Hamundu,Prof- Sultan Murhum Tokoh Pemersatu Kerajaan-Kerajaan Tradisional Di Sulawesi Tenggara ( Makalah- 2005)
5. http://homes.chass.utoronto.ca/~cgothard/Pages/kings.htm
6.

by: Serpihan Serbuk Jiwa

Minggu, 19 Juni 2011

Secret Diary the King (Raja Gowa)

I Mangemangi, Dg. matutu, Karaeng Bonto Nompo, Sultan Muhammad Tahur Muhibuddin, Tuminanga ri Sunguminasa 
                   Menurut mitologi, sebelum kedatangan Tomanurung di tempat yang kemudian menjadi bagian dari wilayah kerajaan Gowa, sudah terbentuk sembilan pemerintahan otonom yang disebut Bate Selapang atau Kasuwiyang Salapang (gabungan/federasi). Sembilan pemerintahan otonom tersebut adalah Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agang Jekne, Bissei, Kalling dan Serro. Pada awalnya, kesembilan pemerintahan otonom ini hidup berdampingan dengan damai, namun, lama kelamaan, muncul perselisihan karena adanya kecenderugnan untuk menunjukkan keperkasaan dan semangat ekspansi. 
                    Untuk mengatasi perselisihan ini, kesembilan pemerintahan otonom ini kemudian sepakat memilih seorang pemimpin di antara mereka yang diberi gelar Paccallaya. Ternyata rivalitas tidak berakhir dengan kesepakan ini, karena masing-masing wilayah berambisi menjadi ketua Bate Selapang. Di samping itu, Paccallaya ternyata juga tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Hingga suatu ketika, tersiar kabar bahwa di suatu
tempat yang bernama Taka Bassia di Bukit Tamalate, hadir seorang putri yang memancarkan cahaya dan memakai dokoh yang indah.
Mendengar ada seorang putri di Taka Basia, Paccallaya dan Bate Salapang mendatangi tempat itu, duduk tafakkur mengelilingi cahaya tersebut. Lama-kelamaan, cahaya tersebut menjelma menjadi wanita cantik, yang tidak diketahui nama dan asal-usulnya. Oleh karena itu, mereka menyebutnya Tomanurung. Lalu, Paccallaya bersama Kasuwiyang Salapang berkata pada Tomanurung tersebut, “kami semua datang kemari untuk mengangkat engkau menjadi raja kami, sudilah engkau menetap di negeri kami dan sombaku lah yang merajai kami”. Setelah permohonan mereka dikabulkan, Paccallaya bangkit dan berseru, “Sombai Karaeng Nu To Gowa (sembahlah rajamu wahai orang-orang Gowa).
Tidak lama kemudian, datanglah dua orang pemuda yang bernama Karaeng Bayo dan Lakipadada, masing-masing membawa sebilah kelewang. Paccallaya dan kasuwiyang kemudian mengutarakan maksud mereka, agar Karaeng Bayo dan Tomanurung dapat dinikahkan agar keturunan mereka bisa melanjutkan pemerintahan kerajaan Gowa. Kemudain semua pihak di situ membuat suatu ikrar yang intinya mengatur hak, wewenang dan kewajiban orang yang memerintah dan diperintah. Ketentuan tersebut berlaku hingga Tomanurung dan Karaeng Bayo menghilang, ketika anak tunggal mereka Tumassalangga Baraya lahir. Anak tunggal inlah yang selanjutnya mewarisi kerajaan Gowa.

             Kerajaan Gowa mencapai puncak keemasannya pada abad XVI yang lebih populer dengan sebutan kerajaan kembar “Gowa-Tallo” atau disebut pula zusterstaten (kerajaan bersaudara). Kerajaan Dwi-Tunggal ini terbentuk pada masa pemerintahan Raja Gowa IX, Karaeng Tumaparissi Klonna (1510-1545), dan ini sangat sulit dipisahkan karena kedua kerajaan telah menyatakan ikrar bersama, yang terkenal dalam pribahasa “Rua Karaeng Na Se’re Ata” (“Dua Raja tetapai satu rakyat”). Oleh karena itu, kesatuan dua kerajaan itu disebut Kerajaan Makassar.
Masa kejayaan Kerajaan Gowa tidak terlepas dari peran yang dimainkan oleh Karaeng Patingalloang, Mangkubumi Kerajaan yang berkuasa 1639-1654. Nama lengkapnya adalah I Mangadicinna Daeng Sitaba Sultan Mahmud, putra Raja Tallo VII, Mallingkaang Daeng Nyonri Karaeng Matowaya. Sewaktu Raja Tallo I Mappaijo Daeng Manyuru diangkat menjadi raja Tallo, usianya baru satu tahun. Karaeng Pattingalloang diangkat untuk menjalankan kekuasaannya sampai I Mappoijo cukup usia. Oleh karena itu dalam beberapa catatan disebutkan bahwa Karaeng Pattingalloang adalah Raja Tallo IX.
             Karaeng Pattingalloang diangkat menjadi sebagai Mengkubumi Kerajaan Gowa-Tallo pada tahun 1639-1654, mendampingi Sultan Malikussaid, yang memerintah pada tahun 1639-1653. Karaeng Pattingalloang, dilantik menjadi Tumabbicara Butta Kerajaan pada hari Sabtu, tanggal 18 Juni 1639. Jabatan itu didapatkannya setelah ia menggantikan ayahnya Karaeng Matowaya. Pada saat ini menjabat Mangkubumi, Karajaan Makassar telah menjadi sebuah kerajaan terkenal dan banyak mengundang perhatian negeri-negeri lainnya.
Karaeng Pattingalloang adalah putra Gowa yang kepandaiannya atau kecakapannya melebihi orang-orang Bugis Makassar pada umumnya. Dalam usia 18 tahun ia telah menguasai banyak bahasa, di antaranya bahasa Latin, Yunani, Itali, Perancis, Belanda, Arab, dan beberapa bahasa lainnya. Selain itu juga memperdalam ilmu falak. Pemerintah Belanda melalui wakilwakilnya di Batavia di tahun 1652 menghadiahkan sebuah bola dunia (globe) yang khusus dibuat di negeri Belanda, yang diperkirakan harganya f 12.000. Beliau meninggal pada tanggal 17 September 1654 di Kampung Bontobiraeng. Sebelum meninggalnya ia telah mempersiapkan 500 buah kapal yang masing-masing dapat memuat 50 awak untuk menyerang Ambon. Karaeng Pattingolloang adalah juga seorang pengusaha internasional, beliau bersama dengan Sultan Malikussaid berkongsi dengan pengusaha besar Pedero La Matta, Konsultan dagang Spanyol di Bandar Somba Opu, serta dengan seorang pelaut ulung Portugis yang bernama Fransisco Viera dengan Figheiro, untuk berdagang di dalam negeri. Karaeng Pattingalloang berhasil mengembangkan/meningkatkan perekonomian dan perdagangan Kerajaan Gowa. Di kota Raya Somba Opu, banyak diperdagangkan kain sutra, keramik Cina, kain katun India, kayu Cendana Timor, rempah-rempah Maluku, dan Intan Berlian Borneo.
Pada pedagang-pedagang Eropa yang datang ke Makassar biasanya membawa buah tangan yang diberikan kepada para pembesar dan bangsawan-bangsawan di Kerajaan Gowa. Buah tangan itu kerap kali juga disesuaikan dengan pesan yang dititipkan ketika mereka kembali ke tempat asalnya. Karaeng Pattingalloang ketika diminta buah tangan apa yang diinginkannya, jawabnya adalah buku. Oleh karena itu tidak mengherankan jika Karaeng Pattingalloang memiliki banyak koleksi buku dari berbagai bahasa.
             Karaeng Pattingalloang adalah sosok cendikiawan yang dimiliki oleh Kerajaan Makassar ketika itu. Karena itu pedulinya terhadap ilmu pengetahuan, sehingga seorang penyair berkebangsaan Belanda yang bersama Joost van den Vondel, sangat memuji kecendikiawannya dan membahasakannya dalam sebuah syair sebagai berikut:
“Wiens aldoor snuffelende brein Een gansche werelt valt te klein”
Yang artinya sebagai berikut:
“Orang yang pikirannya selalu dan terus menerus mencari sehingga seluruh dunia rasanya terlalu sempit baginya”.
Karaeng Patingalloang tampil sebagai seorang cendekiawan dan negarawan di masa lalu. Sebelum beliau meninggal dunia, beliau pernah berpesan untuk generasi yang ditinggalkan antara lain sebagai berikut:
Ada lima penyebab runtuhnya suatu kerajaan besar, yaitu:
1. Punna taenamo naero nipakainga’ Karaeng Mangguka,
2. Punna taenamo tumanggngaseng ri lalang Pa’rasangnga,
3. Punna taenamo gau lompo ri lalang Pa’rasanganga,
4. Punna angngallengasemmi soso’ Pabbicaraya, dan
5. Punna taenamo nakamaseyangi atanna Mangguka.
Yang artinya sebagai berikut :
1. Apabila raja yang memerintah tidak mau lagi dinasehati atau diperingati,
2. Apabila tidak ada lagi kaum cerdik cendikia di dalam negeri,
3. Apabila sudah terlampau banyak kasus-kasus di dalam negeri,
4. Apabila sudah banyak hakim dan pejabat kerajaan suka makan sogok, dan
5. Apabila raja yang memerintah tidak lagi menyayangi rakyatnya.
            Beliau wafat ketika ikut dalam barisan Sultan Hasanuddin melawan Belanda. Setelah wafatnya, ia kemudian mendapat sebutan “Tumenanga ri Bonto Biraeng”.
Dari sudut pandang terminologi, belum ada kesempatan (konsensus) arti kata Gowa yang menjelaskan secara utuh asal-usul kata serapan Gowa. Arti yang ada hanyalah asumsi dan perkiraan antara lain: pertama, kata Gowa berasal dari “goari”, yang berarti kamar atau bilik/perhimpun; kedua, berasal dari kata “gua”, yang berarti liang yang berkait dengan tempat kemunculan awal Tomanurung ri Gowa (Raja Gowa I) di gua/perbukitan Taka Bassia, Tamalate (dalam bahasa Makassar artinya tidak layu) yang kemudian secara politik kata Gowa dipakai untuk mengintegrasikan kesembilan kasuwiang (Bate Salapang) yang bersifat federasi di bawah paccallaya, yang kemudian menjadi kekuasaan tunggal Tomanurung, sehingga leburlah Bate Salapang menjadi Kerajaan “Gowa” yang diperkirakan berdiri pada abad XIII (1320).
             
              Sampai masa kekuasaan Raja Gowa VIII I Pakere’ Tau Tunnijallo ri Passukki, pemerintahan kerajaan dipusatkan di Taka Bassia (Tamalate) sebagai istana Raja Gowa I. Kemudian istana raja ini dipindahkan ke Somba Opu oleh Raja Gowa IX Daeng Mantare Karaeng Mengunungi yang bergelar Tumapa’risi Kallonna karena dianggap lebih menguntungkan dan strategis sebagai kerajaan yang maju di bidang ekonomi dan politik. Pada masa inilah Kerajaan Gowa mulai memperluas kekuasaannya dan menaklukkan berbagai daerah sekitarnya termasuk menjalin hubungan kerjasama dan perjanjian dengan kerajaan-kerajaan lain. Hal ini berlangsung sampai Raja Gowa XII, I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bonto Langkasa (1565-1590). Ambisi itulah yang menjadikan Kerajaan Gowa-Tallo menjadi kerajaan besar. Bandar yang dimilikinya menjadi bandar persinggahan niaga dunia yang sangat maju karena telah memiliki berbagai fasilitas sebagaimana layaknya negara-negara besar lain di abad XVI dan XVII. Pada waktu itu pemerintah menjalankan sistem politik terbuka berdasarkan teori Mare Leberum (laut bebas) yang memberi jamina usaha para pedagang asing. Akan tetapi, ambisi itu pula yang menciptakan persaingan yang bersifat terselubung (laten) ketika ingin memegang hegomoni dan zuserenitas di Sulewasi, terutama persaingannya dengan Kerajaan Bone. Ketika persaingan itu memuncak, Belanda memanfaatkan situasi tersebut dengan melancarkan politik devide et impera (pecah belah dan kuasai) serta menerapkan sistem monopoli yang sangat bertentangan dengan prinsip mare liberum hingga meletusnya perang Makassar (1666-1669).
               Di sisi lain, agama Islam salah satu alasan perlawanan Bone ketika Gowa berusaha mengintroduksi agama Islam. Usaha itu diprakarsai oleh Raja Gowa XV I Mangerangi Daeng Manrabbia Karaeng Lakiung bergelar Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna (1593-1639) yang menjadi muslim pada tanggal 9 Jumadil 1051 H atau 20 September 1605. Beliau berusaha mewujudkan penyatuan Sulawesi tetapi tidak terealisir sampai masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (1653-1669) yang berakhir dengan Pernjanjian Bungaya pada tanggal 18 November 1667 setelah Perang Makassar.
Tunipalangga
Tunipalangga dikenang karena sejumlah pencapaiannya, seperti yang disebutkan dalam Kronik (Cerita para pendahulu) Gowa, diantaranya adalah:
  1. Menaklukkan dan menjadikan bawahan Bajeng, Lengkese, Polombangkeng, Lamuru, Soppeng, berbagai negara kecil di belakang Maros, Wajo, Suppa, Sawitto, Alitta, Duri, Panaikang, Bulukumba dan negara-negara lain di selatan, dan wilayah pegunungan di selatan.
  2. Orang pertama kali yang membawa orang-orang Sawitto, Suppa dan Bacukiki ke Gowa
  3. Menciptakan jabatan Tumakkajananngang.
  4. Menciptakan jabatan Tumailalang untuk menangani administrasi internal kerajaan, sehingga Syahbandar leluasa mengurus perdagangan dengan pihak luar.
  5. Menetapkan sistem resmi ukuran berat dan pengukuran
  6. Pertama kali memasang meriam yang diletakkan di benteng-benteng besar.
  7. Pemerintah pertama ketika orang Makassar mulai membuat peluru, mencampur emas dengan logam lain, dan membuat batu bata.
  8. Pertama kali membuat dinding batu bata mengelilingi pemukiman Gowa dan Sombaopu.
    Penguasa pertama yang didatangi oleh orang asing (Melayu) di bawah Anakhoda Bonang untuk meminta tempat tinggal di Makassar.
  9. Yang pertama membuat perisai besar menjadi kecil, memendekkan gagang tombak (batakang), dan membuat peluru Palembang.
    Penguasa pertama yang meminta tenaga lebih banyak dari rakyatnya.
    Penyusun siasat perang yang cerdas, seorang pekerja keras, seorang narasumber, kaya dan sangat berani.
Raja-raja Kesultanan Gowa
1. Tumanurunga (+ 1300)
2. Tumassalangga Baraya
3. Puang Loe Lembang
4. I Tuniatabanri
5. Karampang ri Gowa
6. Tunatangka Lopi (+ 1400)
7. Batara Gowa Tuminanga ri Paralakkenna
8. Pakere Tau Tunijallo ri Passukki
9. Daeng Matanre Karaeng Tumapa’risi’ Kallonna (awal abad ke-16)
10 .I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiyung Tunipallangga Ulaweng (1546-1565)
11. I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatte
12. I Manggorai Daeng Mameta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo (1565-1590).
13. I Tepukaraeng Daeng Parabbung Tuni Pasulu (1593).
14. I Mangari Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tuminanga ri Gaukanna  Berkuasa mulai tahun 1593 - wafat tanggal 15 Juni 1639. Merupakan penguasa Gowa pertama yang memeluk agama Islam.
15. I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan Malikussaid Tuminanga ri Papang Batuna Lahir 11 Desember 1605, berkuasa mulai tahun 1639 hingga wafatnya 6 November 1653
16. I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla’pangkana Lahir tanggal 12 Juni 1631, berkuasa mulai tahun 1653 sampai 1669, dan wafat pada 12 Juni 1670
17. I Mappasomba Daeng Nguraga Sultan Amir Hamzah Tuminanga ri Allu’ Lahir 31 Maret 1656, berkuasa mulai tahun 1669 hingga 1674, dan wafat 7 Mei 1681.  I Mallawakkang Daeng Mattinri Karaeng Kanjilo Tuminanga ri Passiringanna
18. Sultan Mohammad Ali (Karaeng Bisei) Tumenanga ri Jakattara Lahir 29 November 1654, berkuasa mulai 1674 sampai 1677, dan wafat 15 Agustus 1681
19. I Mappadulu Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Jalil Tuminanga ri Lakiyung  (1677-1709)
20. La Pareppa Tosappe Wali Sultan Ismail Tuminanga ri Somba Opu (1709-1711)
21. I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi
22. I Manrabbia Sultan Najamuddin
23. I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi. (Menjabat untuk kedua kalinya pada tahun 1735)
24. I Mallawagau Sultan Abdul Chair (1735-1742)
25. I Mappibabasa Sultan Abdul Kudus (1742-1753)
26. Amas Madina Batara Gowa (diasingkan oleh Belanda ke Sri Lanka) (1747-1795)
27. I Mallisujawa Daeng Riboko Arungmampu Tuminanga ri Tompobalang (1767-1769)
28. I Temmassongeng Karaeng Katanka Sultan Zainuddin Tuminanga ri Mattanging (1770-1778)
29. I Manawari Karaeng Bontolangkasa (1778-1810)
30. I Mappatunru / I Mangijarang Karaeng Lembang Parang Tuminang ri Katangka (1816-1825)
31. La Oddanriu Karaeng Katangka Tuminanga ri Suangga (1825-1826)
32. I Kumala Karaeng Lembang Parang Sultan Abdul Kadir Moh Aidid Tuminanga ri Kakuasanna (1826 – wafat 30 Januari 1893)
33. I Malingkaan Daeng Nyonri Karaeng Katangka Sultan Idris Tuminanga ri Kalabbiranna (1893- wafat 18 Mei 1895)
34. I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang Sultan Husain Tuminang ri Bundu’na
Memerintah sejak tanggal 18 Mei 1895, dimahkotai di Makassar pada tanggal 5 Desember 1895. Ia melakukan perlawanan terhadap Hindia Belanda pada tanggal 19 Oktober 1905 dan diberhentikan dengan paksa oleh Hindia Belanda pada 13 April 1906. Ia meninggal akibat jatuh di Bundukma, dekat Enrekang pada tanggal 25 Desember 1906.
35. I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bonto Nompo Sultan Muhammad Tahur Muhibuddin Tuminanga ri         Sungguminasa (1936-1946)
36. Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin (1956-1960) merupakan Raja Gowa terakhir, meninggal di Jongaya pada tahun 1978.

Kamis, 26 Mei 2011

Kayfiyyat Al-Tasawwuf (Syekh Yusuf Tuanta Salama Abul Mahasin)

Seorang laki-laki datang kepada Ibrahim. ''Hai Syekh, semoga Allah merahmatimu,'' katanya. ''Saya ini seorang pencuri.''

''Mendekatlah, kau akan mendapatkannya. Dan sesudah mereka, berbuatlah sekehendakmu,'' jawab Ibrahim.

''Mereka? Saya tidak paham mereka yang Syekh maksudkan.''

''Yang pertama, jika kamu mau melawan Tuhan, janganlah makan rezekinya.''

''Demi Tuhan, itu sangat sukar. Jika rezekinya semua di laut, di darat, di gunung, dari mana saya makan?''

''Pantaskah makan rezeki-Nya dan melawan-Nya?''

''Tidak.''

''Kedua, jika kamu ingin melawan Allah, jangan bertempat tinggal di negeri-Nya.''

''Demi Allah, itu lebih sukar dari yang pertama. Jika dunia ini kepunyaan-Nya, di mana saya tinggal?''

''Pantaskah makan rezekinya, tinggal di negeri-Nya dan melawan-Nya?''

''Tidak.''

''Yang ketiga, jika hendak melawan Allah, lawanlah di tempat Ia tidak melihatmu.''

''Demi Allah, ini yang tersulit. Bagaimana mungkin, sedang Ia tahu semua yang tidak terlihat dan yang disimpan di dalam dada.''

''Pantaskan makan rezekinya, bertempat tinggal di negerinya dan melawannya? Sedang Ia melihat kamu?''

''Tidak. Kalau begitu Syekh, beri saya yang keempat.''

''Jika datang Malaikat Maut mengambil ruhmu, kamu akan berkata, ‘Akhirilah kematian saya sampai saya bertobat. Malaikat akan berkata, ‘Enak saja. Jika kamu tahu, mengapa tidak tobat dulu-dulu.''

Laki-laki itu belum puas dan karena itu masih meminta opsi kelima.

''Baik,'' kata Ibrahim. ''Jika datang Mungkar dan Nakir, maka tolaklah.''

''Tidak ada kekuatan bagiku. Berilah Syekh, opsi yang lain.''

''Jika kamu berada di tangan Allah Azza wa Jalla, sedangkan Allah memerintahkan memasukkanmu ke neraka, berkatalah kepada Tuhan: Jangan perintahkan mereka.''
''Saya mohon ampun kepada Allah. Saya bertobat kepada-Nya.''

Cerita ini dikutip oleh Syekh Yusuf Al-Makassari dari kitab Zaadatul Musafirin (Perbekalan para Pengelana) dalam salah satu risalahnya, An-Nafhatus Sailaniah (Embusan dari Ceylon).

Syekh Yusuf menulis lebih dari 20 tulisan terutama tentang tasawuf. Salah satunya yang dari Srilangka alias Ceylon itu. Ditulis memenuhi keinginan para jamaah dan sahabat, risalah ini memuat antara lain keharusan mempersatukan syariat dan hakikat. Misalnya mengutip pendapat guru-guru tasawuf yang menyatakan, ''Siapa yang berilmu tetapi tidak bertasawuf, ia fasik. Siapa yang bertasawuf namun tidak berfikih, ia zindik.''

Begitulah Syekh Yusuf Makassar. Dia berdakwah dengan cara memberi contoh dan hikmah.

Sehingga pendengarnya senang mengikuti dakwah yang disampaikannya. Karena itulah, tak heran bila namanya begitu sangat terkenal, termasuk di Cape Town, Afrika Selatan.

Nama Syekh Yusuf Makassar, tentunya sudah tidak asing lagi. Banyak artikel atau tulisan dan buku-buku yang ditulis para pemerhati perjuangan Syekh Yusuf.

Ia adalah seorang ulama besar kelahiran Gowa, Sulawesi Selatan, pada 3 Juli 1626. Muhammad Yusuf atau lebih populer dengan sebutan Syekh Yusuf Al-Makassari Al-Bantani berasal dari keluarga bangsawan tinggi di kalangan suku bangsa Makassar dan mempunyai pertalian kerabat dengan raja-raja Banten, Gowa, dan Bone.

Konon, nama Muhammad Yusuf merupakan pemberian dari Sultan Alauddin, Raja Gowa yang merupakan kerabat ayahnya, Gallarang Moncongloe dan ibunya Siti Aminah.

Namun, menurut Hamka, nama ayah Syekh Yusuf adalah Abdullah Abul Mahasim. Keluarganya yang memiliki latar belakang keislaman yang kuat membuat Syekh Yusuf sejak kecil diajar serta dididik secara Islam.

Syekh Yusuf Makassar, selain sebagai seorang ulama juga dikenal sebagai pejuang nasional dan diangkat sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1995. Ia juga seorang sastrawan sekaligus sebagai ahli tasawuf (sufi).

Pergulatannya dengan ilmu agama, perjuangannya melawan penjajah hingga diasingkan ke Cafe Town, Afrika Selatan, sudah begitu banyak dijelaskan oleh para tokoh dalam berbagai buku dan artikel. Pada tulisan ini, akan dikemukakan perjalanan dan pemikirannya dalam bidang tasawuf.

Persentuhan pertama kali dengan ilmu tasawuf didapatkannya dari Syekh Nuruddin Ar-Raniri di Aceh, yaitu dengan belajar Tarekat Qadiriyah hingga ia mendapatkan ijazah (sebuah pernyataan bahwa dia diperbolehkan mengajarkannya kepada orang lain) dari Ar-Raniri.

Selepas dari Aceh, Syekh Yusuf melanjutkan perjalanan ke Arab Saudi melalui Yaman. Di Yaman ini ia belajar pada Sayid Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh Al-Kabir Mazjaji Al-Yamani Zaidi An-Naqsyabandi. Dari ulama ini, Syekh Yusuf mendapatkan ijazah Tarekat Naqsyabandiyah.

Masih di Yaman, Syekh Yusuf kembali belajar ke pada Syekh Maulana Sayid Ali, dan diberikan ijazah Tarekat Al-Baawalawiyah.

Selanjutnya, dia menunaikan ibadah haji di Makkah. Selesai berhaji, ia pergi ke Madinah dan belajar pada Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin Al-Kurdi Al-Kaurani.

Dari Syekh ini diterimanya ijazah Tarekat Syattariyah. Belum juga puas dengan ilmu yang didapat, Syekh Yusuf pergi ke negeri Syam (Damaskus) menemui Syekh Abu Al-Barakat Ayyub Al-Khalwati Al-Qurasyi. Ia diberikan ijazah Tarekat Khalwatiyah.

Dari sekian banyak tarekat yang ia dapatkan, hal ini menunjukkan keluasan dan kedalaman ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh Syekh Yusuf. Tak heran, bila kemudian dia sangat ahli dalam bidang tasawuf.

Karena itu, dalam lontar versi Gowa disebutkan akan kedalaman ilmu yang dimilikinya. Penguasaan ilmu yang dimiliki Syekh Yusuf bagaikan "Tamparang tenaya sandakanna" (langit yang tak dapat diduga), "Langik tenaya birinna" (langit yang tak berpinggir), dan "kappalak tenaya gulinna" (kapal yang tak berkemudi).

Kedalaman ilmu pengetahuan yang dimilikinya, terutama dalam bidang tasawuf ini, membuat Syekh Yusuf senantiasa berhati-hati dalam berperilaku. Disebutkan, Syekh Yusuf senantiasa mempraktikkan ilmu tasawuf dalam hidupnya.

Dalam hidup, Syekh Yusuf menekankan pentingnya bagi setiap Muslim untuk menempuh jalan kesucian batin dari segala perbuatan maksiat dengan segala bentuknya. Dorongan berbuat maksiat, menurutnya, dipengaruhi oleh kecenderungan untuk mengikuti keinginan hawa nafsu, yaitu keinginan memperoleh kemewahan dan kenikmatan dunia.

Hawa nafsu itulah yang menjadi sebab utama dari segala perilaku yang buruk. Tahap pertama yang harus ditempuh oleh seorang murid (salik) adalah mengosongkan diri dari sikap dan perilaku yang menunjukkan kemewahan duniawi.

Syekh Yusuf juga dikenal sebagai ulama yang sangat moderat. Dalam mengajarkan proses penyucian batin kepada murid-muridnya, dia tidak menginginkan murid-muridnya meninggalkan seluruh urusan dunia dan hanya mengejar urusan akhirat.

Menurut Syekh Yusuf, kehidupan dunia ini bukanlah harus ditinggalkan dan hawa nafsu harus dimatikan sama sekali. Melainkan hidup ini harus dimanfaatkan guna menuju Tuhan. Gejolak hawa nafsu harus dikuasai melalui tata tertib hidup, disiplin diri dan penguasaan diri atas dasar orientasi ketuhanan yang senantiasa melingkupi kehidupan manusia.

Hidup, dalam pandangan Syekh Yusuf, bukan hanya untuk menciptakan keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi. Namun, kehidupan ini harus diilhami dengan cita-cita dan tujuan hidup untuk menuju ridha Allah SWT. Menurutnya, Allah SWT adalah inti dari orientasi dan tujuan hidup seorang Muslim. Sedangkan dunia ini menjadi jalannya.

Sejak kecil ilmu tasawuf sudah mencuri perhatian Syekh Yusuf. Sebagain besar perhatiannya tercurah pada ilmu yang kelak mengantarnya sebagai seorang guru besar.
Pengetahuan mengenai tasawuf diperolehnya dengan cara menimba ilmu dari sejumlah ulama besar yang bermukim di tempat-tempat yang pernah ia singgahi.

Sebut saja diantaranya Syekh Nuruddin Ar-Raniri, ulama masyhur di Aceh; Syekh Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh Al-Kabir Mazjaji Al-Yamani Zaidi Al-Naqsyabandi, ulama yang mengagas Tarekat Naqsyabandi; Syekh Maulana Sayid Ali, penggagas tarekat Al-Baalawiyah; Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin Al-Kurdi Al-Kaurani, ulama asal Madinah pencetus Tarekat Syattariyah; Syekh Abu Al-Barakat Ayyub Al-Khalwati Al-Qurasyi, ulama Damaskus pengaggas tarekat Khalwatiyah.

Karena itu pula, Syekh Yusuf pun banyak menulis buku dalam bidang tasawuf. Buku-buku mengenai ajaran tasawuf ditulisnya ketika dalam perantauan dan pada saat menjalani pengasingan. Ketika menjalani pengasingan di Srilanka, salah seorang ulama besar dari India yang ia temui di sana, Syekh Ibrahim Ibnu Mi'an, meminta Syekh Yusuf untuk menulis sebuah buku tentang tasawuf berjudul Kayfiyyat Al-Tasawwuf.

Begitu juga selama menetap di Banten, Syekh Yusuf menulis sejumlah karya demi mengenalkan ajaran tasawuf kepada umat Islam Nusantara. Salah satu bukunya, Al-Barakat al-Sailaniyya, yang berisi informasi tentang cara bagaimana mengikuti jalan sufisme, seperti berdzikir, syahadat, dan cara bagaimana mendekatkan diri kepada Allah (muraqabah).

Pendapatnya dalam buku ini, ada tiga cara mengingat Allah (dzikir), yakni melalui dzikr al-nafi wa al-ithbat dengan mengucap La ilaaha Illa Allah; dzikir al-mudjarrad wa al-djalala, dengan mengucap 'Allah'; dan dzikir al-ishara wa al-anfas dengan mengucap 'hu'.

Karyanya yang lain, Al-Fawa'ih al-Yusufiyya fi Bayan Tahqiq al-Sufiyya, ditulis ketika dia menjawab pertanyaan orang mengenai beberapa masalah agama. Ia menganjurkan orang untuk banyak membaca Alquran dan memperkuat tauhid, di samping mengamalkan kewajiban agama. Dalam buku ini, ia juga merekomendasikan kepada mereka untuk sabar, syukur, dan jujur.

Seperti halnya Al-Fawa'ih al-Yusufiyya fi Bayan Tahqiq al-Sufiyya, dalam kitabnya, Hashiyya, Syekh Yusuf juga menjelaskan makna syahadat, yang berarti kekuasaan apa pun berasal dari Allah. Kitab Hashiyya ini hampir sama dengan buku Kayfiyat al-Mun-ghi wa al-Ithbat bi al-Hadits al-Qudsi, yang dia tulis di Srilanka. Kitab ini menjelaskan pentingnya mengingat Allah SWT di mana pun dan kapan pun, sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Didalam kitab ini juga dijelaskan cara-cara bertobat dan memperoleh ridha Allah SWT.

Sementara dalam kitabnya yang berjudul Mathalib al-Salikin, sang ulama tasawuf menjelaskan keesaan Allah sebagai landasan untuk menjadi seorang Muslim. Menurut dia, seorang Muslim harus percaya pada konsep tauhid (keesaan Allah) dan makrifah (pengetahuan tentang Allah) serta menjalankan ibadah. Urutannya dapat dilihat sebagaimana pohon, terdiri atas batang yang diibaratkan sebagai tauhid, cabang serta daun-daunnya diibaratkan sebagai makrifah, dan ibadah sebagai buahnya.

By: Serpihan Serbuk Jiwa