Kamis, 25 Agustus 2016

Sunan Geseng

HATINYA TEGUH DENGAN MENTAATI PERINTAH SANG GURU, SUNAN KALIJAGA. SAAT  ITULAH KALBUNYA MENERIMA HIDAYAH.
Udara semilir bertiup, daun-daun bergerak, mentari belum sempurna menghadirkan cahaya bagi bumi yang baru saja diselimuti malam. Di sebuah rumah sederhana, seorang laki-laki siap dengan sebatang bumbung bambu. Setiap hari Ki Cakrajaya, lelaki itu, mencari air nira kedalam hutan untuk membuat gula, untuk menghidupi keluarganya.
Setelah pamit pada istrinya, ia berjalan mantap menuju hutan, sebagai pengerajin nira yang berpengalaman, ia tahu batang enau mana yang pagi itu bisa memenuhi bumbung bambunya dengan cepat. Setelah menyelidik dengan pengamatan yang tajam, ia menetapkan sebatang pohon untuk disadap. Bak seekor Bajing secepat kilat ia memanjat pohon enau itu sampai kepuncaknya. Ia lalu memasang bumbung bambu untuk menampung tetes demi tetes air nira. Sementara bumbung yang telah ia pasang sehari sebelumnya ia bawa pulang.
Sejurus kemudian orang desa yang lugu ini beristirahat sejenak, dari mulutnya meluncur tembang-tembang syahdu melagukan keasrian alam yang indah. Setelah penat hilang, ia pun beranjak pulang, siap mengolah air nira menjadi gula. Begitulah hari-hari dilaluinya: menyadap nira, membuat gula, dan nembang. Bila malam tiba, dengan hening ia melewatkan waktunya dengan tembang-tembangnya yang merdu.
Suatu hari kemerduan suara Ki Cakrajaya terdengar oleh Sunan Kalijaga. Sang Sunan sangat tertarik mendengar tembang yang dibawakan dengan penuh penghayatan itu. Sunan Kalijaga lalu menghampiri Ki Cakrajaya, mengajaknya berkenalan dan berbincang. Kebetulan Sunan Kalijaga sendiri adalah seniman ulung yang juga jago nembang. Klop sudah!, di akhir pertemuan Sunan Kalijaga menghadiahkan sebuah tembang yang berisi ajaran dan kebijaksanaan islam kepada Ki Cakrajaya.
Maka Ki Cakrajaya pun mempelajari tembang yang dihadiahkan kepadanya. Kalbu Ki Cakrajaya tergetar ketika menembangkan karya Sunan Kalijaga yang sarat dengan hikmah islam yang belum pernah di kenalnya itu. Begitulah, Ki Cakrajaya langsung jatuh cinta pada tembang istimewa itu. Iapun setiap hari melantunkan  bait-bait tembang itu dengan syahdu.

Mendapat Hidayah

Karena sudah terbiasa melagukan tembang yang sarat dengan hikmah kebijaksanaan islam itu, lama kelamaan terbukalah hati Ki Cakrajaya. Setiap kali nembang ia merasakan ketenangan batin yang tiada tara. Seiring dengan itu hatinya pun mulai diliputi keinginan mencari tahu asal muasal hikmah yang terkandung dalam syair tembang itu.
Suatu ketika saat tengah menembang sambil mengolah gula, ia mengalami sebuah kejadian ajaib, tiba-tiba semua gula yang ia olah merubah menjadi emas. Tak percaya pada penglihatannya, Ki Cakrajaya terperanjat setengah mati. Tak ayal dalam sekejap ia pun menjadi kaya raya, hidupnya berlimpah kesenangan, tapi hal itu membuat jiwanya gelisah. ia semakin penesaran untuk segera bertemu dengan Sunan Kalijaga.
Ia ingin memperoleh jawaban atas kegelisahan hatinya, juga jawaban perkara berubahnya gula menjadi emas. Keinginan itu semakin kuat. Ia lalu memutuskan mencari Sunan Kalijaga sampai ketemu. Sekalipun tak tahu keberadaan Sunan Kalijaga, ia tetap saja berangkat, tekadnya sudah bulat tak terbendung harus bertemu dengan sang Sunan.
Ia menyusuri kampung demi kampung, keluar masuk hutan demi hutan. Pada suatu hari yang cerah, disebuah hutan yang sangat lebat dan teduh, ia bertemu dengan Sunan Kalijaga. Maka segeralah ia menghambur ke hadapan sanag wali dari dusun Kadilangu Indramayu itu (Mengislamkan Tanah Jawa, Drs. Widji Saksono, IAIN Sunan Kalajogo, Yogjakarta), hamba telah mencari kanjeng Sunan sejak lama, mohon kiranya sudilah Kanjeng Sunan mengambil hamba sebagai santri, apapun syarat yang harus hamba lakukan. Katanya terbata-bata di hadapan Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga tertegun, tapi ia ingin menguji keteguhan dan kesungguhan hati Ki Cakrajaya. “Aku bersedia menerima kamu  sebagai santri, sebagai muridku, tapi kamu harus menunggu aku sambil sujud di batu hitam itu,” ujar Sunan Kalijaga sambil menunjuk sebongkah batu hitam yang menyembul di tengah alang-alang yang lebat. “Kamu tidak boleh bangun dari sujudmu sampai aku datang kembali,” ujar Sunan Kalijaga.
HATI KI CAKRAJAYA YANG SUDAH MANTAP INGIN MENGGALI AJARAN HIKMAH KEBIJAKSANAAN DARI SUNAN KALIJAGA, MENYANGGUPI SYARAT YANG SANGAT BERAT ITU, “JIKA ITU SUDAH MENJADI KETENTUAN KANJENG SUNAN, HAMBA BERSEDIA MELAKUKANNYA,” SAHUTNYA PASTI.. SAAT ITU PULA, KI CAKRAJAYA SUJUD DI ATAS BATU HITAM ITU, DAN SUNAN KALIJAGA PUN BERANJAK PERGI MENINGGALKAN MURIDNYA SEORANG DIRI.

Ilalang Dibakar

Hari berganti minggu, Minggu beranjak berganti bulan, dan Ki Cakrajaya tetap bersujud di tengah alang-alang. Panas terik matahari, hujan badai dan suhu dingin tak dihiraukannya! Semua cobaan ia hadapi dengan hati yang tak tergoyahkan. Baju yang dikenakannya pun mulai coklat kehitam-hitaman di timpa panas dan hujan. Bahkan sampai berbulan-bulan ia tak makan dan tidak minum.
Bulan demi bulan telah lewat, ilalang disekitar batu hitam besar yang mulai lumutan itu sudah tumbuh, bahkan sudah nayris menutupi batu. Saat itu tiba-tiba Sunan Kalijaga yang telah lama berkelana, teringat kepada calon muridnya yang telah lama ia tinggalkan. Maka ia pun kembali ke hutan tempat ia dulu memerintahkan Ki Cakrajaya bersujud. Tapi Sunan tak menemukannya karena keadaan telah banyak berubah. Ia mencari kesana-kemari, dibantu beberapa muridnya yang lain. Karena tak kunjung menemukan yang dicari, sunan pun memerintahkan membakar ilalang yang lebat di hutan itu untuk memudahkan pencarian. Maka dibakarlah ilalang yang lebat itu oleh murid-murid Sunan Kalijaga. Api membubung tinggi, dan ilalang pun musnah.
Setelah api reda, dan lembah yang semula penuh dengan ilalang itu  terang benderang dan tampaklah batu hitam tempat Ki Cakrajaya bersujud sekalipun api membakar ilalang di sekelilingnya. Tapi, ajaib tubuh Ki Cakrajaya tak terbakar sedikitpun, hanya beberapa bagian bajunya yang terbakar.
Betapa terharunya Sunan Kalijaga menyaksikan kesetiaan dan kekuatan hati Ki Cakrajaya.”Bangunlah, Cakrajaya,, muridku,” ujar Sunan dengan suara bergetar. Maka Ki Cakrajaya bangun, lalu memberi hormat kepada sang wali yang memiliki karomah tinggi itu. Hatinya berbunga-bunga karena merasa hikmah kebijaksanaan islam telah merasuk ke dalam jiwanya.
Demikianlah, kisah yang termaktub dalam Babat Tanah Jawi Galuh Mataram, yang berakhir dengan diterimanya Ki Cakrajaya sebagai murid Sunan Kalijaga. Peristiwa luar biasa sebagai cermin tekad hati yang sangat teguh itu menjadi legenda yang melatar belakangi julukan bagi Ki Cakrajaya yaitu Sunan Geseng, seorang Sunan yang hangus oleh tekad yang membara. Geseng (jawa), artinya hangus. Sayang tidak banyak data tentang asal usul Sunan Geseng.
Beberapa babat dalam khasanah sastra jawa, mengisahkan, setelah belajar kepada Sunan Kalijaga ia ditugasi berdakwah dan menjadi imam di daerah Lowanu, Purworejo, Jawa Tengah. Beberapa waktu tinggal di Lowanu, kemudian ia menetap di Jolosytro, Bantul, Yogjakarta sampai akhir hayatnya. Sampai kini makam Sunan Geseng masih sering diziarahi banyak orang.