Jumat, 03 Oktober 2014

Pangeran Pekik dan Ratu Pandansari


Tahun 1628 Sultan Agung melakukan ekspedisi perang menyerbu Benteng VOC di Batavia, tetapi ekspedisi ini gagal. Tahun 1629 Sultan Agung mengulangi ekspedisi perangnya dengan mengepung kota dengan cara membendung sungai ciliwung yang mengakibatkan seluruh air minum di kota Batavia tercemar oleh bakteri Kolera. Gub Jend VOC pun Jan Pietersson Coen meninggal karena terserang penyakit kolera. Dengan matinya J.P. coen, Sultan Agung menghentikan pengepungan kota Batavia.

Kesuksesan mengepung kota Jakarta diilhami oleh pengepungan kota Surabaya tahun 1625.

Dipuncak keemasan Mataram ketika diperintah oleh Sultan Agung, terdapat daerah yang sulit ditaklukkan karena kekuatan angkatan perangnya. Daerah itu terletak di Jawa Timur dan bernama SURABAYA yang saat itu diperintah oleh Pangeran Jayalengkara yang mempunyai putra bernama Pangeran Pekik.

Dalam buku yang saya baca, Kraton Surabaya dikelilingi oleh tembok setinggi 4 meter sehingga sulit ditembus oleh pasukan musuh. Sultan Agung mengincar Surabaya sebagai daerah taklukan karena Surabaya memiliki dua keuntungan yaitu dekat laut dan kotanya di tepi sungai (Kalimas), sehingga dipandangnya kota Surabaya adalah kota yang sangat strategis.

Sultan Agung melakukan serangkaian penyerbuan Surabaya dimulai tahun 1620-1625 yaitu dengan melakukan gangguan terhadap hasil panen. Tetapi kota Surabaya sangat sulit ditaklukkan karean pasukannya yang gagah berani (Arek Suroboyo, hehehe)

Karena bila menyerang secara langsung Sultan Agung selalu menemui kegagalan, maka dilakukan taktik lain. Sultan Agung mengirim Tumenggung Bahurekso menaklukkan Sukadana (Kalimantan Selatan) yang dianggapnya selalu memberikan bantuan pasukan ke kota Surabaya. Selanjutnnya Sultan Agung juga mengirim Tumenggung Jurukiting menaklukkan Pulau Madura yang dianggap sahabat Surabaya. Kemudian mengangkat Raden Paseno sebagao Pangeran Cakraningrat dan diberi kekuasaan memimpin pulau Madura.

Setelah melemahkan sekutu Surabaya, maka diawal tahun 1625 dimulailah penyerbuan besar-besaran. Tetapi Pangeran Pekik dengan gagah berani mempertahankan kota dan memukul mundur pasukan Mataram hingga ke Wirosobo (Mojoagung).

Kemudian semua panglima perang Mataram mendirikan markas di Wirosobo dan setelah membicarakan berbagai taktik, akhrinya diputuskan membendung anak Kali Brantas yang mengalir ke kota Surabaya yaitu Kalimas.
Keesokan harinya mulailah pasukan Mataram membendun gKalimas dengan jalan menenggelamkan ratusan pohon kelapa yang ditopang oleh bambu, disetiap pohon kelapa diberi bangkai tikus, kucing dan anjing. Beberapa minggu kemudian Surabaya mulai kekurangan air dan sedikit air yang mengalir ke kota telah tercemar oleh bakteri sehingga banyak parajurit dan penduduk Surabaya terkena wabah.

Melihat rakyatnya menderita, ditengah malam Pangeram Jayalengkara diiringi pembantu setianya naik kuda menuju Wirasaba menemui Pangilam Mataram, Tumenggung Mangunoneng dan minta bendungan dibongkar. Dalam peristiwa ini boleh dikatakan Pangeran Jayalengkara menyerah dan takluk kepada Mataram.

Beberapa waktu kemudian Sultan Agung mengangkat Bupati Sepanjang untuk memimpin Kadipaten Surabaya. Selanjutnya Pangeran Pekik diasingkan di daerah Ampel....kelak kemudian hari untuk membuat persekutuan lebih kuat, Pangeran Pekik diangkat sebagai menantu oleh Sultan Agung.

Nama Pekik berasal dari kata Fikih, karena memang Pangeran Pekik ahli Fikih.
Lokasi Kraton ada dikampung Kraton, dekat kampung Kawatan.
Istal kudanya di kampung Maspati Bubutan
Baliwerti kata aslinya Baluwarti yang sepertinya juga daerah pertahanan Kraton. Baluwarti = gundukan tanah.

Makam Pangeran Pekik beada di dusun Banyusumurp desa Girirejo kecamatan Imogiri Kabupaten Bantul Yogya. Sebenarnya makam itu berada satu kompleks dengan Makam Imogiri (Makam Sultan Agung) tapi posisinya diluar kompleks makam Sultan Agung. Kompleks Makam Banyusumurup dikenal sebagai  makam dari keluarga Keraton yang dianggap mblaleo terhadap Sultan Agung.

Pangeran Pekik dan istinya Gusti Ratu Pandasari dibunuh oleh menantunya sendiri yaitu Sunan Amangkurat I (Sunan Seda ing Tegalwangi).
Karena bencinya maka Amangkurat I memakamkan Pangeran Pekik dan istrinya di kompleks Banyusumurup.