Senin, 23 Mei 2011

La Pawawoi Karaeng Sigeri (1895–1905)


                                                                 
                             
    La Pawawoi Karaeng Sigeri menggantikan saudaranya MatinroE ri Bolampare’na menjadi Mangkau’ di Bone. Waktu itu La Pawawoi Karaeng Sigeri sebenarnya sudah tua, tetapi karena memiliki hubungan baik dengan Kompeni Belanda, sehingga dirinya yang ditunjuk untuk menjadi Mangkau’ di Bone. Seperti pada tahun 1859 M. La Pawawoi Karaeng Sigeri membantu Kompeni Belanda memerangi Turate dan ketika kembali dari Turate, pada tahun 1865 M, maka diangkatlah sebagai Dulung Ajangale. Karena itulah yang dijanjikan oleh Pembesar Kompeni Belanda kepadanya ketika membantu memerangi Turate.
Keberanian dan kecerdasan La Pawawoi Karaeng Sigeri dalam berperang menjadi buah tutur sehingga namanya menjadi populer. Ketika saudaranya We Banri Gau MatinroE ri Bolampare’na menjadi Mangkau’ di Bone, La Pawawoi Karaeng Sigeri diangkat menjadi Tomarilaleng di Bone.
Setelah selesai memerangi Turate, karena La Pawawoi dianggap berjasa dalam membantu Kompeni Belanda, maka dimintalah untuk menjadi Karaeng di Sigeri. Ketika Karaeng Bontobonto melakukan perlawanan terhadap Kompeni Belanda, La Pawawoi Karaeng Sigeri dipanggil kembali oleh Kompeni Belanda untuk membantu meredakan perlawanan Karaeng Bontobonto tersebut. Perlawanan Karaeng Bontobonto yang dimulai pada tahun 1868 M. dan nanti pada tahun 1877 M. baru dapat dipadamkan.
Karena Pembesar Kompeni Belanda merasa berutang budi atas bantuan yang diberikan oleh La Pawawoi Karaeng Sigeri, maka diberikanlah penghargan berupa Bintang Emas besar dengan kalung yang dinamakan ; De Grote Gouden ster voor traun en verdienste.
Kesepakatan Hadat Tujuh Bone dengan Kompeni Belanda dan Arumpone untuk mengusir Karaeng Popo dari Bone. Setelah Karaeng Popo kembali ke Gowa, anaknya yang bernama We Sutera Arung Apala meninggal dunia pada tahun 1903 M.
Pada tanggal 16 Februari 1895 M. terjadi lagi kesepakatan antara Kompeni Belanda dengan Bone untuk memperbaharui Perjanjian Bungaya. Dengan demikian, Kompeni Belanda bertambah yakin bahwa persahabatannya dengan Bone sudah sangat kuat. Akan tetapi setahun setelah terjadinya kontrak persahabatan itu, Belanda melihat adanya tanda-tanda bahwa perjanjian yang pernah disepakati bakal diingkari oleh Arumpone.
Pada tanggal 16 Februari 1896 M. perjanjian itupun dilanggar dan mulailah berlaku keras terhadap sesamanya Arung dan juga kepada orang banyak. Tindakan itu, seperti diperanginya Sengkang dan Arung Peneki, La Oddang Datu Larompong, dengan alasan bahwa Arung Peneki dan Datu Larompong menghalangi dagangan garamnya untuk masuk ke Pallime. Bagi Arung Sengkang, mencampuri perselisihan antara Luwu dengan Enrekang.
Untuk itu Pembesar Kompeni Belanda di Ujungpandang yang bernama Tuan Krussen memperingatkan, tetapi La Pawawoi Karaeng Sigeri tidak mengindahkannya. Pada tahun 1904 M. Gubernur Kompeni Belanda meminta sessung (bea) pada Pelabuhan Ujungpandang dan dihalangi oleh Arumpone. Disamping itu Kompeni Belanda juga meminta untuk mendirikan loji di BajoE dan Pallime, kemudian membayar kepada Arumpone sesuai dengan permintaannya. Semua itu ditolak oleh Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri. Bahkan Arumpone memungut sessung bagi orang Bone yang ada diluar Bone.
Karena permintaan Kompeni Belanda merasa tidak diindahkan oleh Arumpone, maka pada tahun 1905 M. Bone diserang. Penyerangan dipimpin oleh Kolonel van Loenen dengan persenjataan yang lengkap. Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri bersama putranya Baso Pagilingi mundur ke arah Palakka dan selanjutnya ke Pasempe. Sementara tentara Belanda memburu terus, hingga akhirnya Arumpone dengan laskar serta sejumlah keluarganya mengungsi ke Lamuru, Citta dan terus ke Pitumpanuwa Wajo.
Adapun Panglima Perang Arumpone , ialah putra sendirinya yang bernama Abdul Hamid Baso Pagilingi dibantu oleh Ali Arung Cenrana, La Massikireng Arung Macege, La Mappasere Dulung Ajangale, La Nompo Arung Bengo, Sulewatang Sailong, La Page Arung Labuaja. Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri bersama Baso Pagilingi yang lebih dikenal dengan sebutan Petta PonggawaE serta sejumlah laskar pemberaninya terakhir berkedudukan di Awo perbatasan Siwa dengan Tanah Toraja.
Bone diserang oleh tentara Belanda mulai tanggal 30 Juli 1905 M. dan Arumpone mengungsi ke Pasempe. Tanggal 2 Agustus 1905 M. tentara Belanda menyerbu ke Pasempe, akan tetapi Arumpone dengan laskar dan keluarganya sudah meninggalkan Pasempe dan mengungsi ke Lamuru dan selanjutnya ke Citta.
Dalam bulan September 1905 M. Arumpone dengan rombongannya tiba di Pitumpanuwa Wajo. Tentara Belanda tetap mengikuti jejaknya dan nanti pada tanggal 18 November 1905 M. barulah bertemu laskar pemberani Arumpone dengan tentara Belanda dibawah komando Kolonel van Loenen. Pada saat itu, Baso Pagilingi Petta PonggawaE gugur terkena peluru Belanda, maka Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri memilih untuk menyerah. Pertimbangannya adalah kondisi laskar yang semakin menurun dan gugurnya Panglima Perang Bone yang gagah perkasa.
Arumpone ditangkap dan dibawa ke Parepare, selanjutnya naik kapal ke Ujungpandang. Selanjutnya dari Ujungpandang dibawa ke Bandung. Sepeninggal La Pawawoi Karaeng Sigeri, pemerintahan di Bone hanya dilaksanakan oleh Hadat Bone.
Pada tanggal 2 Desember 1905 M. Gubernur Jenderal Belanda di Jakarta menentukan bahwa TellumpoccoE (Bone – Soppeng – Wajo) di Celebes Selatan disatukan dalam satu pemerintahan yang dinamakan Afdeling Bone yang pusat pemerintahannya berada di Pompanuwa. Di Pompanuwa inilah berkedudukan Pembesar Afdeling yang disebut Asistent Resident.
Afdeling Bone dibagi menjadi lima bahagian, yaitu tiap-tiap bahagian disebut Onder Afdeling dan dipegang oleh seorang yang disebut Tuan Petoro. Petoro itu dibagi lagi menjadi ; Petoro Besar ialah Asistent Resident, Petoro Menengah ialah Controleur dan Petoro Kecil ialah Aspirant Controleur. Ketiga tingkatan itu semua dipegang oleh orang Belanda, sedangkan tingkat dibawahnya bisa dipegang oleh orang pribumi kalau memiliki pendidikan yang memadai.
Tingkat yang bisa dipegang oleh orang pribumi seperti Landshap atau Bestuur Assistent. Dibawanya disebut Kulp Bestuur Assistent yang biasa dipendekkan menjadi K.B.A.
Adapun bahagian-bahagian Afdeling Bone, adalah ;
  1. Onder Afdeling Bone Utara, ibu kotanya di Pompanuwa.
  2. Onder Afdeling Bone Tengah, ibu kotanya di Watampone, diperintah oleh Petoro Tengah yang disebut Controleur.
  3. Onder Afdeling Bone Selatan, ibu kotanya di Mare diperintah oleh Aspirant Controleur.
  4. Onder Afdeling Wajo, ibu kotanya Sengkang (sebelum Belanda di Tosora) diperintah oleh Controleur.
  5. Onder Afdeling Soppeng, ibu kotanya Watassoppeng diperintah oleh Controleur.
Kembali kepada kedatangan Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri di Pitumpanuwa, karena pada saat itu memang termasuk dibawah kekuasaan Bone. Disebut Pitumpanuwa karena ada tujuh wanuwa yang berada dibawah pengaruh Bone. Ketujuh wanuwa tersebut, adalah ; pertama Kera, kedua Bulete, ketiga Leworeng, keempat Lauwa, kelima Awo, keenam Tanete, ketujuh Paselloreng.
Setelah Bone kalah yang dalam catatan sejarah disebut Rumpa’na Bone, barulah diambil oleh Belanda dan diserahkan kepada Wajo. Akan tetapi hanyalah berbentuk Lili Passeajingeng artinya segala perintah tetap dikeluarkan oleh Kompeni Belanda. Begitu pula di Bone, sejak ditawannya La Pawawoi Karaeng Sigeri segala perintah hanya dilakukan oleh Hadat Bone dibawah kendali Kompeni Belanda.
Di Wajo tetap Arung Matowa Wajo yang menjadi penyambung lidah Kompeni Belanda, sedang di Soppeng dilakukan oleh Datu Soppeng dan Bone dilakukan oleh TomarilalengE.
Yang pertama – tama dilakukan oleh Kompeni Belanda setelah Arumpone diasingkan ke Bandung, adalah mengumpulkan semua sisa-sisa persenjataan dari laskar Arumpone yang masih tersimpan. Dipungutlah sebbu kati (persembahan) dari masyarakat sebesar tiga ringgit untuk satu orang. Pungutan itu adalah pengganti kerugian Belanda selama berperang melawan Arumpone.
Setelah pungutan yang diberlakukan di wilayah TellumpoccoE selesai, mulai Belanda membuat jalan raya. Seluruh laki-laki yang mulai dewasa sampai kepada laki-laki yang berumur 60 tahun diwajibkan bekerja untuk membuat jalan raya tersebut. Bagi yang tidak mampu untuk bekerja dapat membayar sebesar tiga ringgit.
Ketika Belanda merasa tenang dan tidak ada lagi persoalan yang berat dihadapi, maka ibu kota Afdeling Bone dipindahkan dari Pompanuwa ke Watampone. Assistent Resident Bone berkedudukan di Watampone.
Adapun La Pawawoi Karaeng Sigeri yang pada mulanya diasingkan di Bandung, akhirnya dipindahkan ke Jakarta. Pada tanggal 11 November 1911 M. La Pawawoi Karaeng Sigeri meninggal dunia di Jakarta, maka dinamakanlah MatinroE ri Jakarta. Dalam tahun 1976 M. dianugrahi gelar sebagai Pahlawan Nasional, dan kerangka jenazahnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Setelah La Pawawoi Karaeng Sigeri meninggal dunia, tidak jelas siapa sebenarnya anak pattola (putra mahkota) yang bakal menggantikannya sebagai Mangkau’ di Bone. Baso Pagilingi yang dipersiapkan untuk menjadi putra mahkota, ternyata gugur dalam pertempuran melawan Belanda di Awo. Pada saaat gugurnya Baso Pagilingi Petta PonggawaE, La Pawawoi Karaeng Sigeri langsung menaikkan bendera putih sebagai tanda menyerah.
Rupanya La Pawawoi Karaeng Sigeri melihat bahwa putranya yang bernama Baso Pagilingi itu adalah benteng pertahanan dalam perlawanannya terhadap Belanda. Sehingga setelah melihat putranya gugur, spontan ia berucap ; Rumpa’ni Bone, artinya benteng pertahanan Bone telah bobol.
Baso Pagilingi itulah yang dilahirkan dari perkawinannya dengan isterinya yang bernama We Karibo cucu dari Arung Mangempa di Berru. Karena hanya itulah isterinya yang dianggap sebagai Arung Makkunrai (permaisuri) di Bone. Ketika La Pawawoi Karaeng Sigeri menjadi Mangkau’ di Bone, diangkat pulalah putranya Baso Pagilingi Abdul Hamid sebagai Ponggawa (Panglima Perang).
Baso Pagilingi Abdul Hamid kawin dengan We Cenra Arung Cinnong anak dari La Mausereng Arung Matuju dengan isterinya We Biba Arung Lanca. Dari perkawinannya itu, lahirlah La Pabbenteng Arung Macege.
Selanjutnya La Pawawoi Karaeng Sigeri kawin lagi dengan Daeng Tamene, yang juga cucu dari Arung Mangempa di Berru. Dari perkawinannya itu lahirlah seorang anak perempuan yang bernama We Tungke Besse Bandong, karena inilah isteri yang mengikutinya sewaktu diasingkan ke Bandung. Kemudian We Tungke Besse Bandong kawin dengan La Maddussila Daeng Paraga anak dari Pangulu JowaE ri Bone saudara MatinroE ri Jakarta dengan isterinya yang bernama We Saripa.
Ketika La Pabbenteng diangkat menjadi Arumpone, suami Besse Bandong yang bernama Daeng Paraga diangkat pula menjadi MakkedangE Tana. Karena MakkedangE Tana meninggal dunia, maka Besse Bandong kawin lagi dengan sepupu dua kalinya yang bernama La Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang SombaE ri Gowa, anak dari I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo dengan isterinya Karaeng Tanatana.
Adapun anak La Pawawoi Karaeng Sigeri dengan isterinya yang bernama We Patimah dari Jawa Sunda, ialah La Mappagau. Inilah yang melahirkan La Makkulawu Sulewatang Pallime. Anak selanjutnya bernama Arung Jaling, inilah yang kawin dengan Ali Arung Cenrana anak dari La Tepu Arung Kung dengan isterinya We Butta Arung Kalibbong. Dari perkawinannya itu lahirlah ; pertama bernama We Manuare , kedua bernama Arase, ketiga bernama La Sitambolo.
Ketika La Pawawoi Karaeng Sigeri diasingkan ke Bandung, pemerintahan di Bone hanya dilaksanakan oleh Hadat Tujuh Bone. Hadat Tujuh Bonelah yang melakukan pembaharuan Perjanjian Bungaya dengan Kompeni Belanda. Dengan demikian selama 26 tahun tidak ada Mangkau’ di Bone. Setelah Kompeni Belanda merasa tenang, baru mengangkat salah seorang putra mahkota untuk menjadi Mangkau di Bone.